Minggu, 28 April 2013

karya tahun 2010 "Kematian dalam Mimpi"





Kematian dalam Mimpi

Karya : Yunita Rahmah

       


Saat heningan malam, gejora bintang berkedip-kedip memancarkan cahaya. Aku termenung sendiri di pojok bangku yang ada di teras rumahku.  Aku merasa bingung, pikiranku menjadi tak karuan. Bayang-bayang lamunanku yang mengiringi langkah kesedihanku . Aku merasa aku tak tahu bagaimana menghentikan cucuran air mataku ini. Untung saja besok hari minggu, aku tak perlu memikirkan pelajaran esok.
Dinginnya hembusan udara malam yang menyelimuti tubuhku.         Menghadap ribuan bintang di langit. Tiba-tiba suara dering telepon rumah yang membuyarkan lamunanku. Aku meninggalkan tempat itu, ketika aku angkat telpon, satu katapun tak terdengar dari genggam telpon. Hanya suara denyut telpon yang aku dengar. aku tak menghiraukan telpon genggam itu lagi. Aku masuk ke kamar tidur. Dinginnya hembusan udara malam masih aku rasakan . kulewati kamar tidur orang tuaku. Sambil melipat kedua tanganku. Bosan sekali aku melihat isi di dalam rumahku ini. Keadaan rumahku yang sepih seperti saat ini. Kedua orang tuaku yang tak lagi ada di rumah. Mereka pergi ke luar kota menjenguk nenekku yang sedang sakit. Padahal aku ingin sekali ikut menjenguk. Sudah 1 tahun aku tak bertemu nenekku.
Saat masuk ke dalam kamar, tiba-tiba terdengar dari luar seseorang mengucapkan salam. Kudengar langkah sesorang yang mau masuk ke rumahku. Awalnya aku tidak mau tahu siapa yang bertamu, karena ini sudah malam. Tetapi setelah beberapa saat, rasa ingin tahuku mendorong aku untuk keluar derai kamar. Belum sempat aku pegang, pintu kamarku sudah terbuka. Dari balik daun pintu ruang tamu, ayahku muncul dan berkata "Lisa, buka pintunya !". mendengar kata itu aku tercencang sejenak. Tak aku sangkah yang aku perkirakan itu. Aku kira kedua orang tuaku datang satu jam lagi. Ternyata semuanya di luar dugaan. Mereka datang lebih awal dengan apa yang dikatakan dia tadi pagi.
Dengan wajah yang santuk kedua orang tuaku masuk ke dalam rumah. Kata-kata yang ingin aku pertanyakan kepada kedua orang tuaku yaitu keadaan nenek.  Dengan langkah pelan ibuku masuk kedalam kamar dengan membawa tas merah dan menggendong bayi. ibuku menjawab pertanyaanku dengan senyuman wajah yang  ibu perlihatkan kepadaku. Kata pertama yang dia sebut adalah "alhamdulillah… nenek sudah baikan. Sudah malam ni, kamu tidur dulu !". "Alhamdulillah … iya bu aku mau tidur. Selamat malam bu !" jawabku. Mendengar jawaban itu hatiku merasa lega.
            Mimpiku yang membangunkan aku dari tempat tidurku. Aku termenung sejenak dengan apa yang terjadi di dalam mimpiku. Aku mersa bingung. Apakah semua mimpi bisa menjadi kenyataan. Mimpi itu mengingatkan aku pada kejadian 5 bulan yang lalu.
Kejadian pada pertengahan bulan juli lalu.aku bermimpi tentang batu nisan. Batu nisan itu terukir nama Nela, dia adalah kakaku. Ada sesuatu yang akan terjadi. Pikiranku menjadi tak karuan. Aku ingat betapa lugu dan bodohnya aku pada saat itu. Ternyata apa yang ada dalam maksud mimpiku menjadi kenyataan. Kakaku pergi meninggalkan rumah. Aku hanya menonton semua kejadian itu. Melihat ibuku yang terus meneteskan air mata tanpa henti. Seolah-olah aku tidak akan bertemu lagi dengan kakakku. Dengan tatapan wajah yang penuh Tanya, aku melihat ayah memarahi kakakku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain melihat pertengkaran itu. Dalam tangisan hati selalu berbicara "Maafkan aku kak,,aku tidak bisa membantumu."
Melihat kakakku berusaha keras untuk tidak menghirauan cacian ayahku. Kubalikkan badanku ke belakang, aku meneteskan air mata. Aku pergi meninggalkan tempat itu. Dan melangkah menuju ke atas rumahku.
Dan di atas rumah aku menyaksikan pertengkaran itu. Terlihat ibu menangis memanggil-manggil kakakku untuk tidak pergi. Tetapi mobil sudah terlanjur berjalan. Kakakku pun sudah tak mau kembali, dia tahu juga bahwa ia tak tega melihat ibu seperti itu.
Kakakku tetap dalam pendiriannya. Dia meninggalkan orang tuanya demi menikah dengan orang yang dia cintai. Walau berat untuk melepaskan perpisahan itu.
Aku hanya bisa termenung setiap hari. Canda,tawa, yang selalu mengiringi kebersamaanku dengan kakaku hanya tinggal kenangan. Sejak saat itu, aku tidak pernah bertemu dengan kak Nela. Setahuku setelah kejadian itu kakakku sudah menikah dan di karuniai momongan. Entah seberapa kuat raga dan batinnya untuk bisa melewati semua apa yang terjadi. Menikah tanpa restu orang tua.
Udara pagi, udara yang berpendar menyimak setia kedatangan kakakku. Aku selalu berharap menunggu kedatangan kakakku. Angin lusuh yang menyelimuti tubuh. Kini aku termenung kesepiaan. Dering telpon dari hpku berbunyi. Ternyata telpon yang aku tunggu yaitu dari kakaku. Seucap kata yang tercuap dari kakku hanya menanyakan keadaanku dan orang tuaku.
Tak lama kemudian aku letakkan telpon itu. Tiba-tiba terdengar seseorang dari luar mengucapkan salam. Suara yang sudah lama jarang aku dengar. Rasa ingin tahuku mendorong aku untuk keluar. Aku segera membukakkan pintu itu. Ketika aku buka sedikit pintu itu yang aku lihat sepeti mimpi, kedatangan seoarang yang sudah lama aku tunggu dengan menempok bayi yang ada di leakkan di punggungnya.
" kakak…. Silahkan masuk ! aku panggilkan ibu dulu."mereka tidak tahu siapa yang bertamu. Setelah mereka tahu kedatangan seoarang yang mereka usir dari rumahnya. Ibuku merasa bahagia,memeluk, dan mendekapi tubuhnya. Sepertinya ibuku menyesal dengan apa yang terjadi. Tetapi sebaliknya dengan ayahku . dengan kedatangan kakakku ayahku merasa biasa saja. Rasa kecewa masih ada dalam benak hati ayahku. Tersendu-sendu ayahku meneteskan air mata. Yang hanya tercuapkan sepatah kata tetapi tetesan air mata itu tak kunjung henti. " bu,  yah,, ini adalah anak dari aku dan suamiku dino ! aku berharap suatu saat nanti kalau aku tak lagi melihat bumi ini. Tolong jaga bayiku ini ya ?" ucap kakakku dengan tetesan air mata. Sampai sujud ke lutut ibuku kak nela memohon  satu permintaan itu. Tetapi suasana pembicaraan itu tersipu ucapan dari ayah. Ayah menolak  "bayi apa itu ? bayi dari pernikahan yang tak direstui oleh orang tuanya." "sudahlah pak, lagian itu kan cucu kita satu-satunya !" dari jawaban ibuku tadi ayahku pergi meninggalkan ruangan itu dengan wajah yang penuh emosi.
Kurang lebih setengah jam kak Nela dengan ibu bercakap-cakap. Sedangkan aku menyibukkan diri menggendong bayi mungil itu. Perasaan mengatakan bahwa kakak tak menginap di sini.benar dugaanku. Tak lama kemudian kak Nel;a pamit pulang. Ibuku menyuruh kak Nela untuk mengina disini., karena mereka sudah punya keluarga sendiri.
Beberapa jam kemudian  suara dering telepon. Telpon itu diangkat ibuku. Tiba-tiba wajah ibu tampak cemas. Telepon genggam yang di angkat ibuku terjatuh dan ibuku menjerit kencang. Berjuta tanya berkecamuk dalampikiranku. Tak aku sangka apa yang terjadi tenyata kakakku bersama suami dan anaknya kecelakaan. Belum di bawa ke rumah sakit, mereka tak tertolongkan, mereka meninggal dunia. Yang selamat hanyalah bayi dari mereka.
Lemas sekali seluruh tubuhku. Tak bisa aku lagi kubendung air mata. Luapan isak tangis aku lontarkan. Kini tanah dan air tidur hilang ombak mengubur kakakku di dalam tanah. Wajahnya berubah pucat pasi. Langkahnya tiba-tiba terhenti. Semuanya sudah terlambat. Ayahku yang membenci kakakku kini tinggal penyesalan tiada arti dan tak bisa memutarkan waktu kembali. Dia terlanjur tiada tetapi kata maaf belum saling terucap diantara mereka. Aku tak mengerti siapa yang salah dan benar di antara mereka. Tetapi d balik semua ini pasti mereka mempunyai maksud sendiri dengan apa yang mereka buat namun mereka tak saling memahami satu sma lain.
Saat tangan lembut menyentuh air mataku dengan penuh kasih sayang’ matanya yang tak punya dosa memandangku. Bibirnya tersenyum penuh makna, memandang aku. Tak ada kesedihan di hatinya. Padahal bayi itu di tinggal oleh kedua orang tuanya. Tak bisa aku bayangkan keponakanku yang baru lahir, kini tak bisa lagi bertemu dengan orang tuanya. Apalah daya kalau nanti dia tau. Kesedihan yang akan menghampiri hidupnya.
Dengan penyesalan yang terjadi, ayah merasa bersalah dengan apa yang dia lakukan. Ucapan ayah kepada kak Nela yang sebelum beberapa jam kecelakaan itu terjadi. Mebuat ayah teringat-ingat dan merasa bersalah dengan apa yang dia perbuat.  Rasa salah dan dosa itu dia hapus dengan  mengasuh bayi mungil itu seperti anak kandungnya. Ayah menggap kak Nela tidak meninggal, karena bayi itu yang selalu ada.
Dering jam bekkerku yang membuyarkan lamunannku. Setelah aku matikan jam bekker tadi. Pikiranku mulai bertanya-tanya dalam diriku. Aku keluar dari kamar tidur, menuju candela menghirup udara pagi. Mimpiku tadi malam seperti mimpi yang terjadi setengah bulan yang lalu, yang terjadi pada kakakku. Aku sangat mengkhawatirkan dengan apa yang aku mimpikan semalam. Tiba-tiba lamunanku di buyarkan oleh suara ibuku.
Kami berempat menjenguk nenek yang sedang sakit. Rasa ingin tahu kondisi nenek menjadi kekhawatiranku tersendiri. Sudah 1 tahun aku tak lagi melihat kondisi nenek. Ayahku mendapat telpon dari pamanku. Dia memberi tahu kalau nenek sudah pulang ke rumah sakit dan menyuruh ayahku ke rumah nenek. Perasaanku menjadi aneh. Seolah-olah mengingatkan aku pada mimpiku tadi malam.
Setiba dari rumah nenek. Banyak sekali orang di halaman rumah nenek. Setelah mereka sampai, tatapan mereka tertuju pada kedatangan kami. Mereka semua menantikan kami. Tanpa menghiraukan orang-orang yang ada di sana, kami segera masuk menerobos kerumunan orang-orang tersebut.
Setelah sampai ke dalam, kulihat sebuah tempat tidur yang ada seseorang terbaring di sana. Sekarang aku hanya bisa melihat nenek yang tak lagi bernafas.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar