Minggu, 28 April 2013

lomba menulis cerpen @KFC Indonesia


 Nama : Yunita Rahmah
Umur : 19 tahun
TTL     : Gresik, 16 Juni 1993
Alamat : Jl Sunan Giri XV D no 16 Gresik
Status : Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya
Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Satu Saja
Saat senja sudah tak mewarnai langit. Aku termenung di depan teras memandang satu persatu bintang yang mulai berkilauan memancarkan cahaya putih ke jagat raya dunia pandangku. Memandang kearah langit yang begitu luas dengan tatapan wajah yang kosong penuh keresahan hati ingin selalu bertanya pada bintang-bintang yang begitu cerah memancarkan cahaya. Begitu senyap ketika ibu di rawat di rumah sakit dan kakak sedang menunggu Ibu di rumah sakit. Untung saja besok hari minggu aku tak perlu memikirkan pelajaran esok.
Aku suka bintang, aku perhatikan bintang-bintang di langit yang begitu memancarkan cahaya kegemerlapannya di jagat raya alam semesta ini. Tampak indah aku melihat, penglihatanku kearah bintang merindukan keceriaan suasana yang ada di rumah sebelum ayah meninggalkan keluargaku sebulan yang lalu karena kecelakaan. Namun, semua tinggal kenangan. Ayah sudah tak lagi hadir didalam keluarga bertambah cobban setelah ayah meninggal ibu sering sakit-sakitan. Semakin berderas air mata, aku mengingat semua kenangan yang terjadi seakan kebahagiaan lalu hanya serpihan hidup yang melawan kisah kehidupan keluargaku.
“Non,,,non Dera ?” Suara bi Sumi membangunkan lamunanku.
“Tadi ada telpon non, dari non Meysa” Ungkap Bi Sumi.
“Ada apa, Bi ?” tanya Dera penuh rasa khawatir.
“Non di suruh pergi ke rumah sakit oleh non Meysa.”
Tanpa berfikir panjang apa yang di katakan Bi Sumi, aku beranjak dari teras menuju ke rumah sakit. Rasa khawatir dengan apa yang terjadi dengan ibu semakin melekat pada diriku.
Sesampai di rumah sakit, aku menuju kamar 403. Tampak jauh aku melihat wanita yang di dorong keruang UGD oleh seorang suster, tampak dekat seperti tak lagi asing aku mengenal wajah itu, ternyata yang terbaring itu adalah ibu. Terbelesit melihat kak Meysa yang sedang tersendu-sendu menangis di depan kamar 403.
“Kak Meysa,,, Ibu dimana ?” tanya gugup Dera.
“Ke ruang UGD” jawab singkat Kak Meysa dengan isak tangis yang meraut pada dirinya
“ Kenapa Ibu kak ?” tanyaku penuh kekhawatiran.
Tak lama kemudian seorang dokter keluar dari ruang UGD sebut saja namanya dokter Joko. Melihat sesosok ada yang keluar dari ruang UGD kak Meysa langsung terburu-buru menghampiri dokter tersebut.
“ Dok, gimana keadaan ibu saya ?” tanya kak Meysa ke dokter Joko.
“ Ibu kamu baik-baik saja, tapi,,,” Jawab pak Joko dengan agak ragu.
“ Tapi kenapa dok ?” tanya serempak aku dan kak Dera tergesah.
“ Dua ginjal ibu kamu tidak berfungsi lagi, hanya dengan bantuan alat ibu kamu bisa hidup hanya sementara. Ibu kamu membutuhkan 1 ginjal untuk menggantikan kedua ginjal yang sudah tidak berfungsi itu lagi agar bisa bertahan hidup lebih lama di dunia ini.”
“ Terus bagaimana dok, apa yang harus aku dan kakak lakukan ?” tanyaku penuh khawatir.
“ Apakah ada yang jual ginjal dok, berapapun aku beli dok demi kesembuhan ibu?” tanya Kakak Meysa yang penuh kepolosan.
“ Ginjal jarang banget diperjual-belikan, kalau ada yang relawan menyumbangkan ginjal itu bisa dikatakan keanugerahan” Jawab pak Joko
            Dokterpun meninggalkan kita, karena masih ada pasien lagi yang ditangani.
            Malam berganti, mentari fajar mulai memancarkan cahaya terbit dari arah timur. Hingga malam aku masih termenung tentang keselamatan ibu. Kesempatan hidup berkurang 1 hari untuk mendapatkan ginjal. Entah kemana lagi aku harus mencari ginjal untuk ibu. Sejajaran toko yang ada dipasarpun tak ada yang jual ginjal untuk manusia. Tak ada sukarelawan ginjal yang di berikan. Ginjal manusia layaknya dijual seperti ada yang pasar mungkin aku tak sebingung ini.
Langit kupandang dengan mata kesedihanku yang meraut dalam diriku, bintangpun tak ada cahaya kegemerlapan pada langit yang begitu indah tertampakan lagi seperti biasanya. Aku rindu bintang dimana langit berkelipkan cahaya dari pancaran bintang itu rasaku seprti rindu dengan sesok ibu yang hadir dalam hidupku menjadi pancaran hatiku dalam kehidupan. tapi kini, ibu sedang terbaring di ruang UGD.
Memandang langit terselip dalam benakku, tak tahu harus mencari ginjal kemana lagi. Memandang langit terlihat satu bintang yang begitu cerah memancarkan cahaya kegemerlapannya, menjadi dunia ini tak menjadi gelap karena terpancarkan satu cahaya bintang . Bola mjata yang memandang satu bintang itu nampak terlihatku ada semua sesosok ibu dalam cahaya bintang. Air mata yang berderas dalam kesedihan yang merangkul dalam diriku. Rasa khawatir terjadi dengan ibu semakin melekat pada diriku.
Aku tak bisa mencari ginjal kemana-mana, mungkin yang harus aku lakukan menyumbangkan ginjalku demi ibuku. Aku tak mau jika ibu tak mendampingi hidupku, aku tak mau kehilangan lagi orang yang mewarnai hidupku. Cepat aku beranjak dari tempat itu menuju ke ruang dokter untuk berkonsultasi.
Di ruang dokter aku menemui pak Joko untuk berkonsultasi.
“Dok, saya mau berbicara tentang ibu,” Ungkap Dera ke pak Joko.
“iya silahkan Dera” jawab Pak Joko.
“Dok, demi keselamatan ibu, ambil satu ginjalku buat Ibu, biar ibu bisa bertahan hidup. Biarkan saya hidup dengan satu ginjal.” dengan lirih aku berkata ke dokter.
“ Dengan satu ginjal, kamu sanggup hidup ?” tanya dokter Joko
“ Sanggup dok demi ibu, demi beliau saya lakukan.” Jawabku singkat
“ Baiklah, tapi kamu harus menjaga apabila hidup dengan satu ginjal.”
“Iya dok, demi ibu saya lakukan. Tapi saya pesan sama doketr jangan bilang kesiapapun kalau ginjal yang kudapat ini dari ginjalku dok. Aku tidak mau semua tahu apalagi ibu nanti nanti, Dokter janji ya…”
“ Sungguh kau anak yang berbakti, demi ibu kamu rela berkorban. Baiklah.”
Beberapa menit kemudian, operasi pengambilan ginjal dilakukan, detik berdetik menjadi menit . satu jam berlalu operasi pengambilan ginjal Dera telah usai. Tak lama kemudian berganti operasi ibu di lakukan. Satu jam telah berlalu, tapi belum usai juga operasi tersebut, setelah aku sadar selesai operasi. Aku terbangun dan mendapat kabar bahwa operasi ibu telah usai dan berjalan dengan lancar. Kondisiku yang belum kembali setelah operasi tak bisa menjenguk ke kamar. Dengan masih terbaring di atas tempat tidur. Dera meminta suster untuk di bawa ke ruang ibunya di rawat.
“Sus, antarkan saya ke ruang ibu di kamar 403” ungkap Dera
“Tapi anda di suruh dokter Joko istirahat dulu, tidak boleh banyak bergerak”
“Sudahlah dok, tidak apa-aoa, saya ingin melihat kondisi ibu sekarang” jawab Dera.
Suster itu mendorong tempat tidur Dera dan membawa Dera ke kamar 403 tempat ibunya di rawat. Dera meneteskan air mata melihat kondisi ibu yang masih terbaring belum tersadarkan. Semakin mendekat, Dera meneteskan air mata, isak tangis masih dia rasakan. Beberapa menit kemudian ibu tersadarkan dengan perlahan membuka mata. Dera yang masih terbaring di tempat tidur, tanpa bisa berdiri dan memeluk ibu yang terbaring sebuah tangan yang mendekat kea rah tang ibunya, menggenggam berkata “ Ibu, akhirnya ibu skembali sehat “
“Deeeraaa,,” terpenggal berkata “Dera kenapa terbaring di tempat itu ? sakit nak ?” tanya ibu yang masih terpenggal ucapannya.
“Dera sehat bu, Dera hanya kurang enak badan, jangan khawatir” jawab Dera dengan meneteskan air mata.
Tiba-tiba suara pintu kamar terbuka, kak Meysa datang. Mendekati kami dan memeluk erat ibu dengan isak tangis.
Satu saja aku hidup, hidup dengan satu Ginjal. Demi ibu bisa hadir kembali di sebuah keluarga yang menjadi penerang di keluarga, walau ayah sudah tidak lagi ada di sisi keluarga. Rasa bahagia ini sudah cukup menghadirkan hidupku bersama kak Meysa. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar