Nama
: Yunita Rahmah
Umur
: 19 tahun
TTL
: Gresik, 16 Juni 1993
Alamat
: Jl Sunan Giri XV D no 16 Gresik
Status
: Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya
Jurusan
: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Satu
Saja
Saat senja sudah tak
mewarnai langit. Aku termenung di depan teras memandang satu persatu bintang
yang mulai berkilauan memancarkan cahaya putih ke jagat raya dunia pandangku.
Memandang kearah langit yang begitu luas dengan tatapan wajah yang kosong penuh
keresahan hati ingin selalu bertanya pada bintang-bintang yang begitu cerah
memancarkan cahaya. Begitu senyap ketika ibu di rawat di rumah sakit dan kakak
sedang menunggu Ibu di rumah sakit. Untung saja besok hari minggu aku tak perlu
memikirkan pelajaran esok.
Aku suka bintang, aku
perhatikan bintang-bintang di langit yang begitu memancarkan cahaya
kegemerlapannya di jagat raya alam semesta ini. Tampak indah aku melihat,
penglihatanku kearah bintang merindukan keceriaan suasana yang ada di rumah
sebelum ayah meninggalkan keluargaku sebulan yang lalu karena kecelakaan. Namun,
semua tinggal kenangan. Ayah sudah tak lagi hadir didalam keluarga bertambah
cobban setelah ayah meninggal ibu sering sakit-sakitan. Semakin berderas air
mata, aku mengingat semua kenangan yang terjadi seakan kebahagiaan lalu hanya
serpihan hidup yang melawan kisah kehidupan keluargaku.
“Non,,,non Dera ?”
Suara bi Sumi membangunkan lamunanku.
“Tadi ada telpon non, dari
non Meysa” Ungkap Bi Sumi.
“Ada apa, Bi ?” tanya
Dera penuh rasa khawatir.
“Non di suruh pergi ke
rumah sakit oleh non Meysa.”
Tanpa berfikir panjang
apa yang di katakan Bi Sumi, aku beranjak dari teras menuju ke rumah sakit.
Rasa khawatir dengan apa yang terjadi dengan ibu semakin melekat pada diriku.
Sesampai di rumah
sakit, aku menuju kamar 403. Tampak jauh aku melihat wanita yang di dorong
keruang UGD oleh seorang suster, tampak dekat seperti tak lagi asing aku
mengenal wajah itu, ternyata yang terbaring itu adalah ibu. Terbelesit melihat
kak Meysa yang sedang tersendu-sendu menangis di depan kamar 403.
“Kak Meysa,,, Ibu
dimana ?” tanya gugup Dera.
“Ke ruang UGD” jawab
singkat Kak Meysa dengan isak tangis yang meraut pada dirinya
“ Kenapa Ibu kak ?”
tanyaku penuh kekhawatiran.
Tak lama kemudian
seorang dokter keluar dari ruang UGD sebut saja namanya dokter Joko. Melihat
sesosok ada yang keluar dari ruang UGD kak Meysa langsung terburu-buru menghampiri
dokter tersebut.
“ Dok, gimana keadaan
ibu saya ?” tanya kak Meysa ke dokter Joko.
“ Ibu kamu baik-baik
saja, tapi,,,” Jawab pak Joko dengan agak ragu.
“ Tapi kenapa dok ?”
tanya serempak aku dan kak Dera tergesah.
“ Dua ginjal ibu kamu
tidak berfungsi lagi, hanya dengan bantuan alat ibu kamu bisa hidup hanya
sementara. Ibu kamu membutuhkan 1 ginjal untuk menggantikan kedua ginjal yang
sudah tidak berfungsi itu lagi agar bisa bertahan hidup lebih lama di dunia
ini.”
“ Terus bagaimana dok,
apa yang harus aku dan kakak lakukan ?” tanyaku penuh khawatir.
“ Apakah ada yang jual
ginjal dok, berapapun aku beli dok demi kesembuhan ibu?” tanya Kakak Meysa yang
penuh kepolosan.
“ Ginjal jarang banget
diperjual-belikan, kalau ada yang relawan menyumbangkan ginjal itu bisa
dikatakan keanugerahan” Jawab pak Joko
Dokterpun
meninggalkan kita, karena masih ada pasien lagi yang ditangani.
Malam
berganti, mentari fajar mulai memancarkan cahaya terbit dari arah timur. Hingga
malam aku masih termenung tentang keselamatan ibu. Kesempatan hidup berkurang 1
hari untuk mendapatkan ginjal. Entah kemana lagi aku harus mencari ginjal untuk
ibu. Sejajaran toko yang ada dipasarpun tak ada yang jual ginjal untuk manusia.
Tak ada sukarelawan ginjal yang di berikan. Ginjal manusia layaknya dijual
seperti ada yang pasar mungkin aku tak sebingung ini.
Langit kupandang dengan
mata kesedihanku yang meraut dalam diriku, bintangpun tak ada cahaya kegemerlapan
pada langit yang begitu indah tertampakan lagi seperti biasanya. Aku rindu
bintang dimana langit berkelipkan cahaya dari pancaran bintang itu rasaku
seprti rindu dengan sesok ibu yang hadir dalam hidupku menjadi pancaran hatiku
dalam kehidupan. tapi kini, ibu sedang terbaring di ruang UGD.
Memandang langit
terselip dalam benakku, tak tahu harus mencari ginjal kemana lagi. Memandang
langit terlihat satu bintang yang begitu cerah memancarkan cahaya
kegemerlapannya, menjadi dunia ini tak menjadi gelap karena terpancarkan satu
cahaya bintang . Bola mjata yang memandang satu bintang itu nampak terlihatku
ada semua sesosok ibu dalam cahaya bintang. Air mata yang berderas dalam
kesedihan yang merangkul dalam diriku. Rasa khawatir terjadi dengan ibu semakin
melekat pada diriku.
Aku tak bisa mencari
ginjal kemana-mana, mungkin yang harus aku lakukan menyumbangkan ginjalku demi
ibuku. Aku tak mau jika ibu tak mendampingi hidupku, aku tak mau kehilangan
lagi orang yang mewarnai hidupku. Cepat aku beranjak dari tempat itu menuju ke
ruang dokter untuk berkonsultasi.
Di ruang dokter aku
menemui pak Joko untuk berkonsultasi.
“Dok, saya mau
berbicara tentang ibu,” Ungkap Dera ke pak Joko.
“iya silahkan Dera”
jawab Pak Joko.
“Dok, demi keselamatan
ibu, ambil satu ginjalku buat Ibu, biar ibu bisa bertahan hidup. Biarkan saya
hidup dengan satu ginjal.” dengan lirih aku berkata ke dokter.
“ Dengan satu ginjal,
kamu sanggup hidup ?” tanya dokter Joko
“ Sanggup dok demi ibu,
demi beliau saya lakukan.” Jawabku singkat
“ Baiklah, tapi kamu
harus menjaga apabila hidup dengan satu ginjal.”
“Iya dok, demi ibu saya
lakukan. Tapi saya pesan sama doketr jangan bilang kesiapapun kalau ginjal yang
kudapat ini dari ginjalku dok. Aku tidak mau semua tahu apalagi ibu nanti
nanti, Dokter janji ya…”
“ Sungguh kau anak yang
berbakti, demi ibu kamu rela berkorban. Baiklah.”
Beberapa menit
kemudian, operasi pengambilan ginjal dilakukan, detik berdetik menjadi menit .
satu jam berlalu operasi pengambilan ginjal Dera telah usai. Tak lama kemudian
berganti operasi ibu di lakukan. Satu jam telah berlalu, tapi belum usai juga
operasi tersebut, setelah aku sadar selesai operasi. Aku terbangun dan mendapat
kabar bahwa operasi ibu telah usai dan berjalan dengan lancar. Kondisiku yang
belum kembali setelah operasi tak bisa menjenguk ke kamar. Dengan masih
terbaring di atas tempat tidur. Dera meminta suster untuk di bawa ke ruang
ibunya di rawat.
“Sus, antarkan saya ke
ruang ibu di kamar 403” ungkap Dera
“Tapi anda di suruh
dokter Joko istirahat dulu, tidak boleh banyak bergerak”
“Sudahlah dok, tidak
apa-aoa, saya ingin melihat kondisi ibu sekarang” jawab Dera.
Suster itu mendorong
tempat tidur Dera dan membawa Dera ke kamar 403 tempat ibunya di rawat. Dera
meneteskan air mata melihat kondisi ibu yang masih terbaring belum tersadarkan.
Semakin mendekat, Dera meneteskan air mata, isak tangis masih dia rasakan.
Beberapa menit kemudian ibu tersadarkan dengan perlahan membuka mata. Dera yang
masih terbaring di tempat tidur, tanpa bisa berdiri dan memeluk ibu yang
terbaring sebuah tangan yang mendekat kea rah tang ibunya, menggenggam berkata
“ Ibu, akhirnya ibu skembali sehat “
“Deeeraaa,,” terpenggal
berkata “Dera kenapa terbaring di tempat itu ? sakit nak ?” tanya ibu yang
masih terpenggal ucapannya.
“Dera sehat bu, Dera
hanya kurang enak badan, jangan khawatir” jawab Dera dengan meneteskan air
mata.
Tiba-tiba suara pintu
kamar terbuka, kak Meysa datang. Mendekati kami dan memeluk erat ibu dengan
isak tangis.
Satu saja aku hidup,
hidup dengan satu Ginjal. Demi ibu bisa hadir kembali di sebuah keluarga yang
menjadi penerang di keluarga, walau ayah sudah tidak lagi ada di sisi keluarga.
Rasa bahagia ini sudah cukup menghadirkan hidupku bersama kak Meysa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar