Minggu, 28 April 2013

karya tahun 2010 "Kematian dalam Mimpi"





Kematian dalam Mimpi

Karya : Yunita Rahmah

       


Saat heningan malam, gejora bintang berkedip-kedip memancarkan cahaya. Aku termenung sendiri di pojok bangku yang ada di teras rumahku.  Aku merasa bingung, pikiranku menjadi tak karuan. Bayang-bayang lamunanku yang mengiringi langkah kesedihanku . Aku merasa aku tak tahu bagaimana menghentikan cucuran air mataku ini. Untung saja besok hari minggu, aku tak perlu memikirkan pelajaran esok.
Dinginnya hembusan udara malam yang menyelimuti tubuhku.         Menghadap ribuan bintang di langit. Tiba-tiba suara dering telepon rumah yang membuyarkan lamunanku. Aku meninggalkan tempat itu, ketika aku angkat telpon, satu katapun tak terdengar dari genggam telpon. Hanya suara denyut telpon yang aku dengar. aku tak menghiraukan telpon genggam itu lagi. Aku masuk ke kamar tidur. Dinginnya hembusan udara malam masih aku rasakan . kulewati kamar tidur orang tuaku. Sambil melipat kedua tanganku. Bosan sekali aku melihat isi di dalam rumahku ini. Keadaan rumahku yang sepih seperti saat ini. Kedua orang tuaku yang tak lagi ada di rumah. Mereka pergi ke luar kota menjenguk nenekku yang sedang sakit. Padahal aku ingin sekali ikut menjenguk. Sudah 1 tahun aku tak bertemu nenekku.
Saat masuk ke dalam kamar, tiba-tiba terdengar dari luar seseorang mengucapkan salam. Kudengar langkah sesorang yang mau masuk ke rumahku. Awalnya aku tidak mau tahu siapa yang bertamu, karena ini sudah malam. Tetapi setelah beberapa saat, rasa ingin tahuku mendorong aku untuk keluar derai kamar. Belum sempat aku pegang, pintu kamarku sudah terbuka. Dari balik daun pintu ruang tamu, ayahku muncul dan berkata "Lisa, buka pintunya !". mendengar kata itu aku tercencang sejenak. Tak aku sangkah yang aku perkirakan itu. Aku kira kedua orang tuaku datang satu jam lagi. Ternyata semuanya di luar dugaan. Mereka datang lebih awal dengan apa yang dikatakan dia tadi pagi.
Dengan wajah yang santuk kedua orang tuaku masuk ke dalam rumah. Kata-kata yang ingin aku pertanyakan kepada kedua orang tuaku yaitu keadaan nenek.  Dengan langkah pelan ibuku masuk kedalam kamar dengan membawa tas merah dan menggendong bayi. ibuku menjawab pertanyaanku dengan senyuman wajah yang  ibu perlihatkan kepadaku. Kata pertama yang dia sebut adalah "alhamdulillah… nenek sudah baikan. Sudah malam ni, kamu tidur dulu !". "Alhamdulillah … iya bu aku mau tidur. Selamat malam bu !" jawabku. Mendengar jawaban itu hatiku merasa lega.
            Mimpiku yang membangunkan aku dari tempat tidurku. Aku termenung sejenak dengan apa yang terjadi di dalam mimpiku. Aku mersa bingung. Apakah semua mimpi bisa menjadi kenyataan. Mimpi itu mengingatkan aku pada kejadian 5 bulan yang lalu.
Kejadian pada pertengahan bulan juli lalu.aku bermimpi tentang batu nisan. Batu nisan itu terukir nama Nela, dia adalah kakaku. Ada sesuatu yang akan terjadi. Pikiranku menjadi tak karuan. Aku ingat betapa lugu dan bodohnya aku pada saat itu. Ternyata apa yang ada dalam maksud mimpiku menjadi kenyataan. Kakaku pergi meninggalkan rumah. Aku hanya menonton semua kejadian itu. Melihat ibuku yang terus meneteskan air mata tanpa henti. Seolah-olah aku tidak akan bertemu lagi dengan kakakku. Dengan tatapan wajah yang penuh Tanya, aku melihat ayah memarahi kakakku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain melihat pertengkaran itu. Dalam tangisan hati selalu berbicara "Maafkan aku kak,,aku tidak bisa membantumu."
Melihat kakakku berusaha keras untuk tidak menghirauan cacian ayahku. Kubalikkan badanku ke belakang, aku meneteskan air mata. Aku pergi meninggalkan tempat itu. Dan melangkah menuju ke atas rumahku.
Dan di atas rumah aku menyaksikan pertengkaran itu. Terlihat ibu menangis memanggil-manggil kakakku untuk tidak pergi. Tetapi mobil sudah terlanjur berjalan. Kakakku pun sudah tak mau kembali, dia tahu juga bahwa ia tak tega melihat ibu seperti itu.
Kakakku tetap dalam pendiriannya. Dia meninggalkan orang tuanya demi menikah dengan orang yang dia cintai. Walau berat untuk melepaskan perpisahan itu.
Aku hanya bisa termenung setiap hari. Canda,tawa, yang selalu mengiringi kebersamaanku dengan kakaku hanya tinggal kenangan. Sejak saat itu, aku tidak pernah bertemu dengan kak Nela. Setahuku setelah kejadian itu kakakku sudah menikah dan di karuniai momongan. Entah seberapa kuat raga dan batinnya untuk bisa melewati semua apa yang terjadi. Menikah tanpa restu orang tua.
Udara pagi, udara yang berpendar menyimak setia kedatangan kakakku. Aku selalu berharap menunggu kedatangan kakakku. Angin lusuh yang menyelimuti tubuh. Kini aku termenung kesepiaan. Dering telpon dari hpku berbunyi. Ternyata telpon yang aku tunggu yaitu dari kakaku. Seucap kata yang tercuap dari kakku hanya menanyakan keadaanku dan orang tuaku.
Tak lama kemudian aku letakkan telpon itu. Tiba-tiba terdengar seseorang dari luar mengucapkan salam. Suara yang sudah lama jarang aku dengar. Rasa ingin tahuku mendorong aku untuk keluar. Aku segera membukakkan pintu itu. Ketika aku buka sedikit pintu itu yang aku lihat sepeti mimpi, kedatangan seoarang yang sudah lama aku tunggu dengan menempok bayi yang ada di leakkan di punggungnya.
" kakak…. Silahkan masuk ! aku panggilkan ibu dulu."mereka tidak tahu siapa yang bertamu. Setelah mereka tahu kedatangan seoarang yang mereka usir dari rumahnya. Ibuku merasa bahagia,memeluk, dan mendekapi tubuhnya. Sepertinya ibuku menyesal dengan apa yang terjadi. Tetapi sebaliknya dengan ayahku . dengan kedatangan kakakku ayahku merasa biasa saja. Rasa kecewa masih ada dalam benak hati ayahku. Tersendu-sendu ayahku meneteskan air mata. Yang hanya tercuapkan sepatah kata tetapi tetesan air mata itu tak kunjung henti. " bu,  yah,, ini adalah anak dari aku dan suamiku dino ! aku berharap suatu saat nanti kalau aku tak lagi melihat bumi ini. Tolong jaga bayiku ini ya ?" ucap kakakku dengan tetesan air mata. Sampai sujud ke lutut ibuku kak nela memohon  satu permintaan itu. Tetapi suasana pembicaraan itu tersipu ucapan dari ayah. Ayah menolak  "bayi apa itu ? bayi dari pernikahan yang tak direstui oleh orang tuanya." "sudahlah pak, lagian itu kan cucu kita satu-satunya !" dari jawaban ibuku tadi ayahku pergi meninggalkan ruangan itu dengan wajah yang penuh emosi.
Kurang lebih setengah jam kak Nela dengan ibu bercakap-cakap. Sedangkan aku menyibukkan diri menggendong bayi mungil itu. Perasaan mengatakan bahwa kakak tak menginap di sini.benar dugaanku. Tak lama kemudian kak Nel;a pamit pulang. Ibuku menyuruh kak Nela untuk mengina disini., karena mereka sudah punya keluarga sendiri.
Beberapa jam kemudian  suara dering telepon. Telpon itu diangkat ibuku. Tiba-tiba wajah ibu tampak cemas. Telepon genggam yang di angkat ibuku terjatuh dan ibuku menjerit kencang. Berjuta tanya berkecamuk dalampikiranku. Tak aku sangka apa yang terjadi tenyata kakakku bersama suami dan anaknya kecelakaan. Belum di bawa ke rumah sakit, mereka tak tertolongkan, mereka meninggal dunia. Yang selamat hanyalah bayi dari mereka.
Lemas sekali seluruh tubuhku. Tak bisa aku lagi kubendung air mata. Luapan isak tangis aku lontarkan. Kini tanah dan air tidur hilang ombak mengubur kakakku di dalam tanah. Wajahnya berubah pucat pasi. Langkahnya tiba-tiba terhenti. Semuanya sudah terlambat. Ayahku yang membenci kakakku kini tinggal penyesalan tiada arti dan tak bisa memutarkan waktu kembali. Dia terlanjur tiada tetapi kata maaf belum saling terucap diantara mereka. Aku tak mengerti siapa yang salah dan benar di antara mereka. Tetapi d balik semua ini pasti mereka mempunyai maksud sendiri dengan apa yang mereka buat namun mereka tak saling memahami satu sma lain.
Saat tangan lembut menyentuh air mataku dengan penuh kasih sayang’ matanya yang tak punya dosa memandangku. Bibirnya tersenyum penuh makna, memandang aku. Tak ada kesedihan di hatinya. Padahal bayi itu di tinggal oleh kedua orang tuanya. Tak bisa aku bayangkan keponakanku yang baru lahir, kini tak bisa lagi bertemu dengan orang tuanya. Apalah daya kalau nanti dia tau. Kesedihan yang akan menghampiri hidupnya.
Dengan penyesalan yang terjadi, ayah merasa bersalah dengan apa yang dia lakukan. Ucapan ayah kepada kak Nela yang sebelum beberapa jam kecelakaan itu terjadi. Mebuat ayah teringat-ingat dan merasa bersalah dengan apa yang dia perbuat.  Rasa salah dan dosa itu dia hapus dengan  mengasuh bayi mungil itu seperti anak kandungnya. Ayah menggap kak Nela tidak meninggal, karena bayi itu yang selalu ada.
Dering jam bekkerku yang membuyarkan lamunannku. Setelah aku matikan jam bekker tadi. Pikiranku mulai bertanya-tanya dalam diriku. Aku keluar dari kamar tidur, menuju candela menghirup udara pagi. Mimpiku tadi malam seperti mimpi yang terjadi setengah bulan yang lalu, yang terjadi pada kakakku. Aku sangat mengkhawatirkan dengan apa yang aku mimpikan semalam. Tiba-tiba lamunanku di buyarkan oleh suara ibuku.
Kami berempat menjenguk nenek yang sedang sakit. Rasa ingin tahu kondisi nenek menjadi kekhawatiranku tersendiri. Sudah 1 tahun aku tak lagi melihat kondisi nenek. Ayahku mendapat telpon dari pamanku. Dia memberi tahu kalau nenek sudah pulang ke rumah sakit dan menyuruh ayahku ke rumah nenek. Perasaanku menjadi aneh. Seolah-olah mengingatkan aku pada mimpiku tadi malam.
Setiba dari rumah nenek. Banyak sekali orang di halaman rumah nenek. Setelah mereka sampai, tatapan mereka tertuju pada kedatangan kami. Mereka semua menantikan kami. Tanpa menghiraukan orang-orang yang ada di sana, kami segera masuk menerobos kerumunan orang-orang tersebut.
Setelah sampai ke dalam, kulihat sebuah tempat tidur yang ada seseorang terbaring di sana. Sekarang aku hanya bisa melihat nenek yang tak lagi bernafas.













lomba menulis cerpen @KFC Indonesia


 Nama : Yunita Rahmah
Umur : 19 tahun
TTL     : Gresik, 16 Juni 1993
Alamat : Jl Sunan Giri XV D no 16 Gresik
Status : Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya
Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Satu Saja
Saat senja sudah tak mewarnai langit. Aku termenung di depan teras memandang satu persatu bintang yang mulai berkilauan memancarkan cahaya putih ke jagat raya dunia pandangku. Memandang kearah langit yang begitu luas dengan tatapan wajah yang kosong penuh keresahan hati ingin selalu bertanya pada bintang-bintang yang begitu cerah memancarkan cahaya. Begitu senyap ketika ibu di rawat di rumah sakit dan kakak sedang menunggu Ibu di rumah sakit. Untung saja besok hari minggu aku tak perlu memikirkan pelajaran esok.
Aku suka bintang, aku perhatikan bintang-bintang di langit yang begitu memancarkan cahaya kegemerlapannya di jagat raya alam semesta ini. Tampak indah aku melihat, penglihatanku kearah bintang merindukan keceriaan suasana yang ada di rumah sebelum ayah meninggalkan keluargaku sebulan yang lalu karena kecelakaan. Namun, semua tinggal kenangan. Ayah sudah tak lagi hadir didalam keluarga bertambah cobban setelah ayah meninggal ibu sering sakit-sakitan. Semakin berderas air mata, aku mengingat semua kenangan yang terjadi seakan kebahagiaan lalu hanya serpihan hidup yang melawan kisah kehidupan keluargaku.
“Non,,,non Dera ?” Suara bi Sumi membangunkan lamunanku.
“Tadi ada telpon non, dari non Meysa” Ungkap Bi Sumi.
“Ada apa, Bi ?” tanya Dera penuh rasa khawatir.
“Non di suruh pergi ke rumah sakit oleh non Meysa.”
Tanpa berfikir panjang apa yang di katakan Bi Sumi, aku beranjak dari teras menuju ke rumah sakit. Rasa khawatir dengan apa yang terjadi dengan ibu semakin melekat pada diriku.
Sesampai di rumah sakit, aku menuju kamar 403. Tampak jauh aku melihat wanita yang di dorong keruang UGD oleh seorang suster, tampak dekat seperti tak lagi asing aku mengenal wajah itu, ternyata yang terbaring itu adalah ibu. Terbelesit melihat kak Meysa yang sedang tersendu-sendu menangis di depan kamar 403.
“Kak Meysa,,, Ibu dimana ?” tanya gugup Dera.
“Ke ruang UGD” jawab singkat Kak Meysa dengan isak tangis yang meraut pada dirinya
“ Kenapa Ibu kak ?” tanyaku penuh kekhawatiran.
Tak lama kemudian seorang dokter keluar dari ruang UGD sebut saja namanya dokter Joko. Melihat sesosok ada yang keluar dari ruang UGD kak Meysa langsung terburu-buru menghampiri dokter tersebut.
“ Dok, gimana keadaan ibu saya ?” tanya kak Meysa ke dokter Joko.
“ Ibu kamu baik-baik saja, tapi,,,” Jawab pak Joko dengan agak ragu.
“ Tapi kenapa dok ?” tanya serempak aku dan kak Dera tergesah.
“ Dua ginjal ibu kamu tidak berfungsi lagi, hanya dengan bantuan alat ibu kamu bisa hidup hanya sementara. Ibu kamu membutuhkan 1 ginjal untuk menggantikan kedua ginjal yang sudah tidak berfungsi itu lagi agar bisa bertahan hidup lebih lama di dunia ini.”
“ Terus bagaimana dok, apa yang harus aku dan kakak lakukan ?” tanyaku penuh khawatir.
“ Apakah ada yang jual ginjal dok, berapapun aku beli dok demi kesembuhan ibu?” tanya Kakak Meysa yang penuh kepolosan.
“ Ginjal jarang banget diperjual-belikan, kalau ada yang relawan menyumbangkan ginjal itu bisa dikatakan keanugerahan” Jawab pak Joko
            Dokterpun meninggalkan kita, karena masih ada pasien lagi yang ditangani.
            Malam berganti, mentari fajar mulai memancarkan cahaya terbit dari arah timur. Hingga malam aku masih termenung tentang keselamatan ibu. Kesempatan hidup berkurang 1 hari untuk mendapatkan ginjal. Entah kemana lagi aku harus mencari ginjal untuk ibu. Sejajaran toko yang ada dipasarpun tak ada yang jual ginjal untuk manusia. Tak ada sukarelawan ginjal yang di berikan. Ginjal manusia layaknya dijual seperti ada yang pasar mungkin aku tak sebingung ini.
Langit kupandang dengan mata kesedihanku yang meraut dalam diriku, bintangpun tak ada cahaya kegemerlapan pada langit yang begitu indah tertampakan lagi seperti biasanya. Aku rindu bintang dimana langit berkelipkan cahaya dari pancaran bintang itu rasaku seprti rindu dengan sesok ibu yang hadir dalam hidupku menjadi pancaran hatiku dalam kehidupan. tapi kini, ibu sedang terbaring di ruang UGD.
Memandang langit terselip dalam benakku, tak tahu harus mencari ginjal kemana lagi. Memandang langit terlihat satu bintang yang begitu cerah memancarkan cahaya kegemerlapannya, menjadi dunia ini tak menjadi gelap karena terpancarkan satu cahaya bintang . Bola mjata yang memandang satu bintang itu nampak terlihatku ada semua sesosok ibu dalam cahaya bintang. Air mata yang berderas dalam kesedihan yang merangkul dalam diriku. Rasa khawatir terjadi dengan ibu semakin melekat pada diriku.
Aku tak bisa mencari ginjal kemana-mana, mungkin yang harus aku lakukan menyumbangkan ginjalku demi ibuku. Aku tak mau jika ibu tak mendampingi hidupku, aku tak mau kehilangan lagi orang yang mewarnai hidupku. Cepat aku beranjak dari tempat itu menuju ke ruang dokter untuk berkonsultasi.
Di ruang dokter aku menemui pak Joko untuk berkonsultasi.
“Dok, saya mau berbicara tentang ibu,” Ungkap Dera ke pak Joko.
“iya silahkan Dera” jawab Pak Joko.
“Dok, demi keselamatan ibu, ambil satu ginjalku buat Ibu, biar ibu bisa bertahan hidup. Biarkan saya hidup dengan satu ginjal.” dengan lirih aku berkata ke dokter.
“ Dengan satu ginjal, kamu sanggup hidup ?” tanya dokter Joko
“ Sanggup dok demi ibu, demi beliau saya lakukan.” Jawabku singkat
“ Baiklah, tapi kamu harus menjaga apabila hidup dengan satu ginjal.”
“Iya dok, demi ibu saya lakukan. Tapi saya pesan sama doketr jangan bilang kesiapapun kalau ginjal yang kudapat ini dari ginjalku dok. Aku tidak mau semua tahu apalagi ibu nanti nanti, Dokter janji ya…”
“ Sungguh kau anak yang berbakti, demi ibu kamu rela berkorban. Baiklah.”
Beberapa menit kemudian, operasi pengambilan ginjal dilakukan, detik berdetik menjadi menit . satu jam berlalu operasi pengambilan ginjal Dera telah usai. Tak lama kemudian berganti operasi ibu di lakukan. Satu jam telah berlalu, tapi belum usai juga operasi tersebut, setelah aku sadar selesai operasi. Aku terbangun dan mendapat kabar bahwa operasi ibu telah usai dan berjalan dengan lancar. Kondisiku yang belum kembali setelah operasi tak bisa menjenguk ke kamar. Dengan masih terbaring di atas tempat tidur. Dera meminta suster untuk di bawa ke ruang ibunya di rawat.
“Sus, antarkan saya ke ruang ibu di kamar 403” ungkap Dera
“Tapi anda di suruh dokter Joko istirahat dulu, tidak boleh banyak bergerak”
“Sudahlah dok, tidak apa-aoa, saya ingin melihat kondisi ibu sekarang” jawab Dera.
Suster itu mendorong tempat tidur Dera dan membawa Dera ke kamar 403 tempat ibunya di rawat. Dera meneteskan air mata melihat kondisi ibu yang masih terbaring belum tersadarkan. Semakin mendekat, Dera meneteskan air mata, isak tangis masih dia rasakan. Beberapa menit kemudian ibu tersadarkan dengan perlahan membuka mata. Dera yang masih terbaring di tempat tidur, tanpa bisa berdiri dan memeluk ibu yang terbaring sebuah tangan yang mendekat kea rah tang ibunya, menggenggam berkata “ Ibu, akhirnya ibu skembali sehat “
“Deeeraaa,,” terpenggal berkata “Dera kenapa terbaring di tempat itu ? sakit nak ?” tanya ibu yang masih terpenggal ucapannya.
“Dera sehat bu, Dera hanya kurang enak badan, jangan khawatir” jawab Dera dengan meneteskan air mata.
Tiba-tiba suara pintu kamar terbuka, kak Meysa datang. Mendekati kami dan memeluk erat ibu dengan isak tangis.
Satu saja aku hidup, hidup dengan satu Ginjal. Demi ibu bisa hadir kembali di sebuah keluarga yang menjadi penerang di keluarga, walau ayah sudah tidak lagi ada di sisi keluarga. Rasa bahagia ini sudah cukup menghadirkan hidupku bersama kak Meysa. 


Sabtu, 27 April 2013

Suasana Hati, Kulantunkan Lewat sebuah Goresan Puisi


Kumpulan Puisi Karya "YunitaRahmah"

      Puisi adalah bagian ekspresi dari jiwaku, dengan puisi curahan hati bisa terluapkan yang menghasilkan sebuah karya yang menarik untuk dibaca walau terkadang tidak semua orang memahami makna sebuah karya puisi dari pengarang.
       Saya menulis sebuah tulisan puisi yang menghasilkan sebuah karya untuk di baca ini terinspirasi saat suasana hati yang merajut untuk menggoreska dalam bentuk tulisan.
        "Selain curhat lewat doa, menulis adalah cara yang paling baik untuk mencurahkan suasana hati " celetukku ketika teman maupun sahabat karib menanyakan. Selain bisa mencurahkan suasana hati, sebuah karya tulisan juga bisa menjadi kenangan di suatu saat nanti ketika kita ingin membacanya. dengan membaca puisi ini saya akan merasuk lagi kedunia nostalgia yang pernah saya alami walau lewat bayangan karya tulisan saya sendiri.

Fatamorgana sekilas terselip di kehidupanku
Karya Yunita Rahmah

Malam memberikan kehadiran seribu bintang
Kelabu gelap yang mewarnai langit dibalik sepercik cahaya terang
Tampak sebuah angan yang sekejap menanyakan sebuah anganku
Fatarmogana kini terselip di kehidupanku
Hingga renunganku memberi kisah tersendiri
Diamkah aku disini ?
Ataukah aku perlahan bertapak mencari ?
Tertatap di bola mataku
Namun sepatah kata memberi sebuah keyakinanku tentang senja itu
Terselip lain itu menjadi kepastian yang menjadi aku terdampar dalam keresahan jiwa.
Sepercik syair yang aku kirim hingga aku tak lelah
Namun aku tak mengungkapkan sepercik kata
Biar senja itu merangkaikan serangkai kata untukku
Yang menjelma dikehidupan nyata untukku








Kericuhan Hati
Karya Yunita Rahmah

Disinilah tetes embunku
Basah genangan air mata ini menjadi kericuhan hati
Seakan air mata sudah tak di hargai lagi
Ku tak mau seperti ini
Aku tak mau jadi begini
Karena aku selalu menghargai air mata
Bagiku air mata dalah sangat berarti buatku
Kini hatiku berdoa, mulutku berteriak melontarkan tanpa suara
Biar semua mendengar bisuan suara
Selalu tersenyum membuat kebahagiaanku tersendiri
Karena senyum adalah obat hati
Terbelenggu di atassemua  kekurangan dunia
Hingga tak dapat bergerak bebas tak melangkah
Melangkah untuk buat cahayaku berpijar
Melangkah untuk buatku senyumku berbinar
Hati terkoyak hebat saat dia pergi untuk biarkan aku sendiri
Hanya gemuruh tamaram yang aku resapi
Saat dia pergi dan buatku merintih perih
Suara cadut saat malam hari seakan redupkan aku
Ditengah harapku yang mengharapmu di hatiku
Seperti saat indah yang kau beri dulu
Seperti saat kau basuh lukaku yang membekas dulu
Kericuan hatiku berteriak tuk terka semua teka-tek hatimui disana

Jeratan hati
Karya Yunita Rahmah

Semua terpaku dan terpana dengan benang kerinduan di hatinya
Tapi aku ???
Aku bukan seperti mereka
Yang mudah terjerat hati seorang
Aku tak mampu dan aku tak sanggup
Bila menjerat hati seorang di hatiku
Karena aku tak mau
Seutas jeratam yang terikat hanya sekejap mata
Karena kau takut dengan kerapuhan jeratan yang sudah terikat
Aku butuh jeratan tali yang terikat erat

Di balik Senyum Hatiku Membisu
Karya Yunita Rahmah

Bisu hatiku ini
Tanpa rasa aku selalu ungkapkan dengan senyumku
Biar hidupku tersembunyi pada senyumku sendiri
Penat hatiku yang selalu menyembunyikan jeratan hidupku
Tampak muka aku selalu tersenyum
Tampak hati aku menyembunyikan senyumku ini
Tak ada sejerat yang bisa menaklukkan
Mungkin hanyalah aku sendiri

Gemuruh hujan gemuruh isi hati
Karya Yunita Rahmah

Saat gemuruh hujan
Anganku selalu mempertanyakan diriku saat ini
Hari indah yang aku nanti
Kapankah hari itu tiba ?
Kenapa semua membisu tak ada ungkapan yang bisa menjawab pertanyaanku ini  ?
Bisukah pertanyaanku ini  ?
Kenapa aku selalu tersembunyi pada hatiku ini ?
Harapan indah yang selalu terangan saat ini  dan sampai kapanpun  aku tetap mengharapkan keindahan yang terjadi pada hidupku