Kematian dalam Mimpi
Karya : Yunita Rahmah
Saat heningan malam, gejora bintang berkedip-kedip memancarkan
cahaya. Aku termenung sendiri di pojok bangku yang ada di teras rumahku. Aku merasa bingung, pikiranku menjadi tak karuan.
Bayang-bayang lamunanku yang mengiringi langkah kesedihanku . Aku merasa aku tak tahu
bagaimana menghentikan cucuran air mataku ini. Untung saja besok hari minggu,
aku tak perlu memikirkan pelajaran esok.
Dinginnya hembusan udara malam yang menyelimuti tubuhku.
Menghadap ribuan bintang di langit. Tiba-tiba suara dering telepon rumah
yang membuyarkan lamunanku. Aku meninggalkan tempat itu, ketika aku angkat
telpon, satu katapun tak terdengar dari genggam telpon. Hanya suara denyut telpon
yang aku dengar. aku tak menghiraukan telpon genggam itu lagi. Aku masuk ke
kamar tidur. Dinginnya hembusan udara malam masih aku rasakan . kulewati kamar
tidur orang tuaku. Sambil melipat kedua tanganku. Bosan sekali aku melihat isi
di dalam rumahku ini. Keadaan rumahku yang sepih seperti saat ini. Kedua orang
tuaku yang tak lagi ada di rumah. Mereka pergi ke luar kota menjenguk nenekku
yang sedang sakit. Padahal aku ingin sekali ikut menjenguk. Sudah 1 tahun aku
tak bertemu nenekku.
Saat masuk ke dalam kamar, tiba-tiba terdengar dari
luar seseorang mengucapkan salam. Kudengar langkah sesorang yang mau masuk ke
rumahku. Awalnya aku tidak mau tahu siapa yang bertamu, karena ini sudah malam.
Tetapi setelah beberapa saat, rasa ingin tahuku mendorong aku untuk keluar
derai kamar. Belum sempat aku pegang, pintu kamarku sudah terbuka. Dari balik
daun pintu ruang tamu, ayahku muncul dan berkata "Lisa, buka pintunya
!". mendengar kata itu aku tercencang sejenak. Tak aku sangkah yang aku
perkirakan itu. Aku kira kedua orang tuaku datang satu jam lagi. Ternyata
semuanya di luar dugaan. Mereka datang lebih awal dengan apa yang dikatakan dia
tadi pagi.
Dengan wajah yang santuk kedua orang tuaku masuk ke
dalam rumah. Kata-kata yang ingin aku pertanyakan kepada kedua orang tuaku
yaitu keadaan nenek. Dengan langkah
pelan ibuku masuk kedalam kamar dengan membawa tas merah dan menggendong bayi. ibuku menjawab pertanyaanku dengan senyuman wajah
yang ibu perlihatkan kepadaku. Kata
pertama yang dia sebut adalah "alhamdulillah… nenek sudah baikan. Sudah
malam ni, kamu tidur dulu !". "Alhamdulillah
… iya bu aku mau tidur. Selamat malam bu !" jawabku. Mendengar jawaban itu
hatiku merasa lega.
Mimpiku yang
membangunkan aku dari tempat tidurku. Aku termenung sejenak dengan apa yang
terjadi di dalam mimpiku. Aku mersa bingung. Apakah semua mimpi bisa menjadi
kenyataan. Mimpi itu mengingatkan aku pada kejadian 5 bulan yang lalu.
Kejadian pada pertengahan bulan juli lalu.aku bermimpi
tentang batu nisan. Batu nisan itu terukir nama Nela, dia adalah kakaku. Ada
sesuatu yang akan terjadi. Pikiranku menjadi tak karuan. Aku ingat betapa lugu
dan bodohnya aku pada saat itu. Ternyata apa yang ada dalam maksud mimpiku
menjadi kenyataan. Kakaku pergi meninggalkan rumah. Aku hanya menonton semua kejadian
itu. Melihat ibuku yang terus meneteskan air mata tanpa
henti. Seolah-olah aku tidak akan bertemu lagi dengan kakakku. Dengan tatapan
wajah yang penuh Tanya, aku melihat ayah memarahi kakakku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain melihat pertengkaran itu.
Dalam tangisan hati selalu berbicara "Maafkan aku kak,,aku tidak bisa
membantumu."
Melihat kakakku berusaha keras untuk tidak menghirauan
cacian ayahku. Kubalikkan badanku ke belakang, aku meneteskan air mata. Aku
pergi meninggalkan tempat itu. Dan melangkah menuju ke atas rumahku.
Dan di atas rumah aku menyaksikan pertengkaran itu.
Terlihat ibu menangis memanggil-manggil kakakku untuk tidak pergi. Tetapi mobil
sudah terlanjur berjalan. Kakakku pun sudah tak mau kembali, dia tahu juga
bahwa ia tak tega melihat ibu seperti itu.
Kakakku tetap dalam pendiriannya. Dia meninggalkan
orang tuanya demi menikah dengan orang yang dia cintai. Walau berat untuk
melepaskan perpisahan itu.
Aku hanya bisa termenung setiap hari. Canda,tawa, yang
selalu mengiringi kebersamaanku dengan kakaku hanya tinggal kenangan. Sejak
saat itu, aku tidak pernah bertemu dengan kak Nela. Setahuku setelah kejadian
itu kakakku sudah menikah dan di karuniai momongan. Entah seberapa kuat raga
dan batinnya untuk bisa melewati semua apa yang terjadi. Menikah tanpa restu
orang tua.
Udara pagi, udara yang
berpendar menyimak setia kedatangan kakakku. Aku selalu berharap menunggu
kedatangan kakakku. Angin lusuh yang menyelimuti tubuh. Kini aku termenung
kesepiaan. Dering telpon dari hpku berbunyi. Ternyata telpon yang aku tunggu
yaitu dari kakaku. Seucap kata yang tercuap dari kakku hanya menanyakan
keadaanku dan orang tuaku.
Tak lama kemudian aku letakkan telpon itu. Tiba-tiba
terdengar seseorang dari luar mengucapkan salam. Suara yang sudah lama jarang
aku dengar. Rasa ingin tahuku mendorong aku untuk keluar. Aku segera
membukakkan pintu itu. Ketika aku buka sedikit pintu itu yang aku lihat sepeti
mimpi, kedatangan seoarang yang sudah lama aku tunggu dengan menempok bayi yang
ada di leakkan di punggungnya.
" kakak…. Silahkan masuk ! aku panggilkan ibu dulu."mereka tidak tahu siapa yang
bertamu. Setelah mereka tahu kedatangan seoarang yang mereka usir dari
rumahnya. Ibuku merasa bahagia,memeluk, dan mendekapi tubuhnya. Sepertinya
ibuku menyesal dengan apa yang terjadi. Tetapi sebaliknya dengan ayahku .
dengan kedatangan kakakku ayahku merasa biasa saja. Rasa kecewa masih ada dalam
benak hati ayahku. Tersendu-sendu ayahku meneteskan air mata. Yang hanya
tercuapkan sepatah kata tetapi tetesan air mata itu tak kunjung henti. "
bu, yah,, ini adalah anak dari aku dan
suamiku dino ! aku berharap suatu saat nanti kalau aku tak lagi melihat bumi
ini. Tolong jaga bayiku ini ya ?" ucap kakakku dengan tetesan air mata.
Sampai sujud ke lutut ibuku kak nela memohon
satu permintaan itu. Tetapi suasana pembicaraan itu tersipu ucapan dari
ayah. Ayah menolak "bayi apa itu ?
bayi dari pernikahan yang tak direstui oleh orang tuanya." "sudahlah
pak, lagian itu kan cucu kita satu-satunya !" dari jawaban ibuku tadi
ayahku pergi meninggalkan ruangan itu dengan wajah yang penuh emosi.
Kurang lebih setengah jam kak Nela dengan ibu
bercakap-cakap. Sedangkan aku menyibukkan diri menggendong bayi mungil itu.
Perasaan mengatakan bahwa kakak tak menginap di sini.benar dugaanku. Tak lama
kemudian kak Nel;a pamit pulang. Ibuku menyuruh kak Nela untuk mengina disini.,
karena mereka sudah punya keluarga sendiri.
Beberapa jam kemudian
suara dering telepon. Telpon itu diangkat ibuku. Tiba-tiba wajah ibu
tampak cemas. Telepon genggam yang di angkat ibuku terjatuh dan ibuku menjerit
kencang. Berjuta tanya berkecamuk dalampikiranku. Tak aku sangka apa yang
terjadi tenyata kakakku bersama suami dan anaknya kecelakaan. Belum di bawa ke
rumah sakit, mereka tak tertolongkan, mereka meninggal dunia. Yang selamat
hanyalah bayi dari mereka.
Lemas sekali seluruh
tubuhku. Tak bisa aku lagi kubendung air mata. Luapan isak tangis aku
lontarkan. Kini tanah dan air tidur hilang ombak mengubur kakakku di dalam
tanah. Wajahnya berubah pucat
pasi. Langkahnya tiba-tiba terhenti. Semuanya sudah terlambat. Ayahku yang membenci kakakku
kini tinggal penyesalan tiada arti dan tak bisa memutarkan waktu kembali. Dia
terlanjur tiada tetapi kata maaf belum saling terucap diantara mereka. Aku tak
mengerti siapa yang salah dan benar di antara mereka. Tetapi d balik semua ini
pasti mereka mempunyai maksud sendiri dengan apa yang mereka buat namun mereka
tak saling memahami satu sma lain.
Saat tangan lembut
menyentuh air mataku dengan penuh kasih sayang’ matanya yang tak punya dosa
memandangku. Bibirnya tersenyum penuh makna, memandang aku. Tak ada kesedihan
di hatinya. Padahal bayi itu di tinggal oleh kedua orang tuanya. Tak bisa aku
bayangkan keponakanku yang baru lahir, kini tak bisa lagi bertemu dengan orang
tuanya. Apalah daya kalau nanti dia tau. Kesedihan yang akan menghampiri
hidupnya.
Dengan penyesalan yang
terjadi, ayah merasa bersalah dengan apa yang dia lakukan. Ucapan ayah kepada
kak Nela yang sebelum beberapa jam kecelakaan itu terjadi. Mebuat ayah
teringat-ingat dan merasa bersalah dengan apa yang dia perbuat. Rasa salah dan dosa itu dia hapus dengan mengasuh bayi mungil itu seperti anak
kandungnya. Ayah menggap kak Nela tidak
meninggal, karena bayi itu yang selalu ada.
Dering jam bekkerku yang membuyarkan lamunannku.
Setelah aku matikan jam bekker tadi. Pikiranku mulai bertanya-tanya dalam
diriku. Aku keluar dari kamar tidur, menuju candela menghirup
udara pagi.
Mimpiku tadi malam seperti mimpi yang terjadi setengah bulan yang lalu, yang
terjadi pada kakakku. Aku sangat mengkhawatirkan dengan apa yang aku mimpikan
semalam. Tiba-tiba lamunanku di buyarkan oleh suara ibuku.
Kami berempat menjenguk
nenek yang sedang sakit. Rasa ingin tahu kondisi nenek menjadi kekhawatiranku
tersendiri. Sudah 1 tahun aku tak lagi melihat kondisi nenek. Ayahku mendapat
telpon dari pamanku. Dia memberi tahu kalau nenek sudah pulang ke rumah sakit
dan menyuruh ayahku ke rumah nenek. Perasaanku menjadi aneh. Seolah-olah
mengingatkan aku pada mimpiku tadi malam.
Setiba dari rumah nenek.
Banyak sekali orang di halaman rumah nenek. Setelah mereka sampai, tatapan
mereka tertuju pada kedatangan kami. Mereka semua menantikan kami. Tanpa menghiraukan
orang-orang yang ada di sana, kami segera masuk menerobos kerumunan orang-orang
tersebut.
Setelah sampai ke dalam,
kulihat sebuah tempat tidur yang ada seseorang terbaring di sana. Sekarang aku
hanya bisa melihat nenek yang tak lagi bernafas.